Monday, April 30, 2007

EMANSIPASI WANITA

Salah satu persepsi publik paling popular adalah anggapan bahwa makna emasipasi wanita adalah perjuangan kaum wanita demi memperoleh persamaan hak dengan kaum pria. Persepsi itu keliru, namun kaprah dipertahankan, sampai Menteri Urusan Wanita pun lantang mencanangkannya sebagai pekik perjuangan resmi kaum wanita Indonesia.

Makna emansipasi wanita sebenarnya bukan demi memperoleh persamaan hak dengan kaum pria. Apabila hak kaum wanita disamakan dengan pria, malah akan merugikan pihak wanita! Sebaliknya, hak kaum pria, secara kodrati, juga mustahil disamakan dengan wanita, akibat realita kewajiban masing-masing jenis kelamin dengan latar belakang biologis kodrati yang tidak sama.

Secara kodrati, meski dipaksakan dengan cara apa pun, kaum pria tidak mungkin melakukan perilaku kodrati wanita, seperti menstruasi, pregnasi, laktasi (datang bulan, mengandung (plus melahirkan), menyusui). Allah memang menciptakan sifat-sifat biologis kodrati pria beda dengan wanita. Bentuk alat kelamin pria juga diciptakan Allah, berbeda dari wanita, justru demi fungsi reproduksional agar makhluk manusia tidak punah.

Keliru sambil merugikan, jika kaum wanita berjuang untuk memperoleh hak yang sama dengan hak pria. Karena berdasar latar-belakang kodrati yang berbeda, di dunia tenaga kerja di Indonesia masa kini, kaum wanita justru memiliki kelebihan hak ketimbang pria, yakni cuti menstruasi, hamil sekaligus melahirkan. Dengan hak cuti dua hari setiap bulan di masa menstruasi, masih ditambah hak cuti tiga bulan = 90 hari di masa hamil dan melahirkan, seorang pekerja wanita malah memiliki kelebihan hak cuti selama: 90 + (12 x 2) = 114 hari ketimbang pria.

Apabila hak pekerja wanita disamakan dengan pekerja pria, maka langsung hak lebih 114 hari itu akan lenyap, demi kerugian wanita. Sebaliknya tidak ada alasan, bagi pekerja pria untuk disamakan hak cuti kodratinya dengan pekerja wanita, akibat latar belakang realita kodrati biologis kaum pria mustahil memenuhi syarat untuk memperoleh cuti. Menggelikan, jika pekerja pria menuntut hak cuti kodrati mereka, misalnya cuti ereksi, atau cuti menghamili, yang secara fisik sebenarnya cukup melelahkan itu. Yang lebih produktif sebenarnya adalah perjuangan agar pekerja wanita memperoleh hak atas imbalan gaji sesuai realita kemampuannya, setara dengan yang diterima pekerja pria dengan kemampuan sama.

Secara kultural, jika hak wanita disamakan dengan pria, juga merugikan wanita! Karena dengan persamaan hak, maka kaum wanita, terutama yang sedang hamil, akan kehilangan hak kultural untuk dilindungi, dan prioritas kemudahan di saat-saat khusus, seperti hak memperoleh tempat duduk yang layak di kendaraan umum, atau hak untuk terlebih dahulu diselamatkan di saat bencana atau kecelakaan, maupun hak untuk memperoleh prioritas kehormatan seperti dibukakan pintu mobil, dipayungi di saat hujan, dan aneka adat istiadat tata kesopanan yang menguntungkan kaum wanita lainnya.

Makna emansipasi wanita yang benar, adalah perjuangan kaum wanita demi memperoleh hak memilih dan menentukan nasib sendiri. Sampai kini, mayoritas wanita Indonesia, terutama di daerah pedesaan dan sektor informal belum sadar atas, apalagi memiliki, hak memilih dan menentukan nasib mereka sendiri, akibat normatif terbelenggu persepsi etika, moral, dan hukum genderisme lingkungan sosio-kultural serba keliru. Belenggu budaya anakronistis itulah yang harus didobrak gerakan perjuangan emansipasi wanita demi memperoleh hak asasi untuk memilih dan menentukan nasib sendiri.